Ashley mengaku, bahwa dirinyalah calon istri Viktor.
Cintya: "Aku tidak percaya. Sebaiknya kau pergi dari sini. Sebelum terjadi keributan."
Ashley: "Pergi? Enak saja! Kau hanya pembantu! Mana pantas mengusirku?"
Cintya tidak mau buat banyak masalah. Ia memanggil Ben. Dan asistent yang juga sepupu dan sopir Viktor itu datang.
Ben: "Ada apa, Cintya?"
Cintya: "Kau kenal dia?"
Cintya menunjuk pada Ashley.
Ben: "Ashley? Kau mencari Viktor?"
Ashley: "Tentu saja. Mana dia?"
Ben: "Sedang di kantornya. Ada rapat proyek dengan rekan bisnisnya."
Ashley: "Kalau begitu.. aku menunggunya di sini."
Ia duduk di sofa ruang tengah.
Ashley: "Ng.. pelayan, buatkan aku secangkir kopi susu yang tidak terlalu manis. Juga jangan terlalu panas."
Ia memberikan perintah pada Cintya. Ben tidak bisa berbuat lebih. Ia hanya menelpon Viktor.
Cintya: "Enak saja! Kau buat sendiri sana! Ambil cangkirnya di rak. Kopi, gula, dan air panasnya ada di dapur!"
Ashley: "Kau berani membantah?"
Ben: "Aku saja yang buat."
Ia tidak ingin Cintya bertengkar dengan Ashley.
Cintya: "Ben, jangan! Kau bukan pelayannya, kan?"
Kemudian, setelah menghabiskan makanannya, ia kembali ke kamar. Sebelum masuk, ia bicara lagi.
Cintya: "Nona! Kau tunggu saja Viktor di sini. Aku ingatkan padamu. Lain kali, jangan sembarangan bicara. Supaya tidak ditampar orang."
Tanpa menunggu komentar wanita angkuh itu, Cintya langsung masuk kamar.
Sedangkan Ben, juga meninggalkan Ashley di ruang makan. Ia menelpon Viktor lagi.
Viktor: "Aku sudah di depan pintu."
Ia masuk ke rumah, dan melihat Ashley duduk di sofa sambil merokok.
Viktor: "Sedang apa kau di sini?"
Melihat Viktor datang, dia langsung mematikan rokoknya.
Ashley: "Viktor.. kau datang.."
Ia mulai merayu.
Ashley: "Kau dari mana saja? Apa.. sudah makan malam? Bagaimana kalau kita makan malam di luar? Aku yang traktir.."
Ia meraba dada Viktor dengan lembut dan genit. Buru-buru Viktor mendorongnya.
Viktor mendorongnya.
Viktor: "Apa.. waktu itu kau masih belum mengerti ucapanku? Aku katakan sekali lagi, aku sama sekali tidak tertarik padamu!"
Suara Viktor keras dan tinggi.
Terdengar sampai ke seluruh rumah. Termasuk kamar Cintya.
Sedari tadi, Cintya hanya nonton tv di kamarnya. Mendengar suara Viktor, ia segera mematikan tv-nya.
Ashley ikut kasar.
Ashley: "Kenapa kau jahat padaku? Kenapa kau berkata begitu padaku? Apa karena pembantu sialan itu?!"
Viktor: "Pembantu apa maksudmu?"
Ashley: "Jangan balik bertanya!"
Viktor langsung ingat Cintya.
Ashley: "Pembantu kurang ajar itu!"
Viktor tidak peduli lagi, dengan apa yang dikatakan oleh Ashley. Ia memanggil Ben. Yang dipanggil pun segera datang.
Viktor: "Keluarkan dia dari rumah ini! Jangan sampai dia masuk lagi."
Ben: "Dengan.. senang hati.."
Ia segera menyeret Ashley keluar dari rumah itu.
Ashley: "Viktor, kenapa kau lakukan ini padaku?"
Viktor tidak menjawab. Ia pergi ke kamar Cintya.
Mendengar suara langkah kaki di depan pintu, Cintya tau, itu pasti Viktor. Ia segera mematikan lampu, lalu memejamkan mata.
Viktor ingin bicara dengan Cintya. Sayangnya, gadis itu sudah tidur. Ia membetulkan selimutnya. Lalu duduk di tepi ranjang.
Viktor: "Aku janji, tidak akan ada lagi yang berani menghinamu."
Mendengar kata-kata Viktor, Cintya sangat terharu. Saat laki-laki itu hendak keluar kamar, buru-buru Cintya bangun.
Cintya: "Viktor!"
Yang dipanggilnya menoleh, dan tersenyum. Tapi, Cintya tak membalasnya. Lalu, Viktor kembali duduk di samping Cintya lagi. Ruangan gelap tak ia pedulikan. Ia merasa hafal dengan sebuah tempat di sisi gadis itu.
Viktor: "Kau marah padaku?"
Cintya: "Marah? Tentu saja tidak.."
Viktor: "Kau tidak marah, setelah dihina oleh Ashley?"
Cintya: "Iya, aku marah. Tapi bukan padamu. Sebenarnya, aku sudah biasa diperlakukan begitu. Tapi.. sudahlah. Tidak usah diperpanjang."
Viktor tersenyum. Sangat lega mendengar kata-kata Cintya.
Cintya: "Eh, kau sudah makan malam? Kelihatannya kau lelah. Mau ku buatkan susu hangat? Maaf, aku tidak bisa memasak."
Viktor: "Tidak usah repot-repot. Aku sudah makan di kantor. Tadi memang agak sibuk. Tapi, aku hanya perlu tidur."
Cintya: "Kalau begitu.. kau lekas tidur, ya."
Viktor tersenyum. Ia memeluk Cintya.
Viktor: "Suatu hari nanti, bila aku melakukan kesalahan padamu, kau tak perlu menahan marah. Asal kau tidak pergi dariku, sampai mati pun aku rela kau maki."
Cintya tertawa.
Cintya: "Kau ini bicara apa? Kau pasti mengantuk."
Viktor melepas pelukan itu.
Viktor: "Ya.. aku sudah mengantuk. Aku ke kamarku dulu. Selamat malam."
Suatu pagi, Cintya baru keluar kamar. Ia sudah siap mau pergi ke sekolah. Ia segera ke ruang makan untuk sarapan. Di ruangan itu, Viktor dan Ben juga sedang sarapan.
Ben: "Kelihatannya.. kau sangat senang hari ini. Kenapa?"
Sambil mengolesi roti dengan selai, Cintya menjawabnya.
Cintya: "Mulai hari ini.. pergi dan pulang sekolah, tidak perlu antar jemput aku, ya.."
Viktor: "Memangnya kenapa?"
Cintya: "Aku.. punya pacar."
Wajah gadis itu memerah.
Viktor dan Ben terkejut mendengarnya.
Ben: "Pacar?"
Cintya: "Iya.. Ah.. aku jadi malu."
Viktor: "Kau.. mencintai pacarmu itu?"
Cintya: "Kenapa tanya begitu? Aku jadi tambah malu.. Jujur saja, aku tidak mencintainya. Tapi entah bagaimana nanti, aku juga tidak bisa memprediksikannya. Pokoknya, dia tampan sekali. Oh ya, ini pertama kali aku pacaran. Jadi.. agak malu.."
Ben tertawa. Tapi Viktor tidak.
Ben: "Semoga kau sukses dengan pacar pertamamu. Kau bisa tanya-tanya padaku soal ini."
Viktor: "Eh, Cintya, sebaiknya kau belajar yang rajin. Jangan hanya memikirkan pacar."
Cintya: "Iya, aku tau, Viktor."
Gadis itu menghabiskan sarapannya.
Cintya: "Dia.. pasti sudah menunggu di luar. Aku.. pergi dulu. Dah!"
Sambil tertawa dan tersenyum sendiri, ia masuk lift.
Mendadak, Viktor bicara yang aneh-aneh.
Viktor: "Kenapa dia pacaran? Dia masih sekolah, kan?"
Ben: "Kan sudah biasa anak sekolah punya pacar. Bahkan melakukan aksi orang dewasa."
Viktor: "Aksi orang dewasa? Maksudmu apa?"
Ben: "Masa kau tidak mengerti? Payah!"
Akhirnya, Viktor mengerti maksud Ben.
Pacar Cintya bernama Randy. Teman sekolah, bahkan sekelas.
Randy: "Kau pasti senang tinggal di rumah semewah ini."
Cintya: "Iya. Senang sekali. Viktor sangat baik padaku. Juga Ben. Mereka benar-benar baik. Terutama Viktor."
Mulai hari itu, Cintya dan Randy berangkat dan pulang sekolah bersama.
Setiap sampai di rumah, dengan semangat Cintya bercerita tentang hubungannya dengan Randy.
Cintya: "Dia itu, murid paling pandai di kelasku. Dia mengajariku semua pelajaran yang sulit."
Viktor: "Sepertinya.. dia hebat sekali. Dibanding dia, aku tidak ada apa-apanya. Iya, kan?"
Pertanyaan itu aneh sekali. Viktor sendiri tidak sadar kalimat itu keluar dari bibirnya begitu saja. Meluncur bagaikan panah yang melesat, dan menusuk hati Cintya.
Rabu, 23 Juli 2008
Sabtu, 12 Juli 2008
Quit Playin' Games With My Heart (episode 3)
Viktor mendekap Cintya. Membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.
Viktor: "Sebaiknya, kau tinggal di sini. Aku tidak mau kau sampai tidur di jalanan yang dingin itu."
Cintya: "Baiklah.. Terimakasih, Viktor.."
Mulai hari itu, Cintya tinggal di rumah Viktor. Setiap ke sekolah, Viktor mengantarnya dengan mobil mewah. Membuat seluruh teman sekolah Cintya berdecak kagum. Pulangnya, juga begitu. Viktor yang menjemput.
Suatu siang, Viktor sudah menunggu di depan sekolah. Ia berdiri di depan mobilnya. Lalu melihat Cintya baru keluar dari gerbang sekolah, dan berjalan cepat menghampiri Viktor.
Cintya: "Aku senang sekali hari ini.."
Mereka ngobrol di dalam mobil.
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Hasil testku minggu ini.. nilainya bagus. Aku puas."
Viktor: "Aku ucapkan selamat."
Tawa Cintya mulai pudar.
Cintya: "Viktor, aku ingin cari kerja."
Viktor: "Kerja? Untuk apa?"
Cintya: "Bodoh! Tentu saja untuk dapat uang. Aku harus bayar uang sekolah, beli buku, baju, sepatu, dan kebutuhanku yang lain."
Viktor: "Cintya, kau masih muda. Sebaiknya belajar saja sampai lulus. Kalau kau butuh sesuatu, kau bilang saja padaku."
Cintya menyentuh tangan pria itu.
Cintya: "Viktor, kau sudah terlalu baik padaku. Dan kau mau melakukan banyak kebaikan lagi untukku. Apakah aku pantas menerimanya? Entah apa yang harus ku lakukan untuk membalasnya. Aku pasti tak akan sanggup."
Viktor menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menoleh pada Cintya, dan menatap gadis itu lekat-lekat. Menggenggam kedua tangannya.
Viktor: "Aku senang berbuat baik padamu. Tapi.. kalau kau terus berpikir untuk membalas kebaikan ini.. Aku akan merasa sangat sedih.."
Cintya: "Ti, tidak.. Bukan begitu. Aku.. tidak ingin membuatmu sedih. Sungguh.."
Viktor: "Kalau begitu, jangan pernah memikirkan cara untuk membalas ini semua."
Cintya: "Baiklah.. Tapi.. biarkan sudatu hari nanti, aku melakukan sesuatu yang terbaik untukmu."
Viktor: "Kalau begitu, sudah diputuskan.."
Viktor memang orang yang sangat baik. Ia tampan dan kaya. Ia memiliki banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Kekayaannya tak kan habis dimakan 100 generasi pun. Anehnya, di usianya saat ini.. ia belum beristri. Jangankan istri. Pacar saja dia tidak punya.
Viktor: "Sejak aku kehilangan kedua orang tuaku, saat berumur 21 tahun, aku tidak pernah berpikir tentang wanita, menikah, atau berkeluarga. Aku hanya berpikir untuk mempertahankan apa yang selalu diperjuangkan oleh ayahku. Yaitu kejayaan, kesuksesan, dan kekayaan sebesar ini.."
Cintya: "Kau benar-benar hebat."
Viktor: "Di rumah ini, aku hanya tinggal bersama Ben. Sepupuku, yang juga asistentku."
Cintya: "Aku kagum sekali padamu. Kau orang sibuk. Tapi tidak mengandalkan pelayan untuk melayanimu. Ben juga begitu setia."
Viktor: "Jujur saja, selama ini aku merasa kesepian. Tapi, setelah ada kau, rasanya.. kesepian itu berkurang."
Cintya tersenyum.
Cintya: "Kalau begitu, aku akan menemanimu. Agar tidak kesepian. Lagi pula, aku juga tidak ingin pulang. Aku tidak mau kembali. Kalau tidak ada kau.. pasti aku sudah jadi gelandangan yang kesepian. Ternyata.. Tuhan masih baik padaku."
Cintya berdiri, lalu memalingkan wajahnya. Menatap ke luar jendela. Ada banyak bintang bertaburan. Terlihat pula gedung-gedung menjulang tinggi, hanya tampak atapnya saja.
Suatu hari, saat pulang sekolah, Viktor tidak bisa menjemput Cintya. Ia menyuruh Ben menjemput gadis itu.
Cintya: "Viktor mana?"
Ben: "Ada rapat dengan beberapa relasi. Nanti sore baru selesai."
Cintya: "Oh.."
Ia masuk ke mobil. Melepas tas punggungnya. Setelah begitu panasnya terik matahari, kini terasa sangat sejuk setelah masuk mobil, dengan AC yang menyala.
Tiba-tiba terdengar suara ribut di jok belakang. Dan muncullah seorang pria yang sangat dikenal oleh Cintya.
Cintya: "Viktor?! Apa yang sedang kau lakukan?"
Viktor: "Aku.. cuma mau memberikan kejutan untukmu.."
Cintya: "Kau ini.."
Viktor: "Ben! Kenapa di belakang sini bau sekali?"
Ben: "Nanti ku periksa."
Cintya masih menatap Viktor. Pria itu tersenyum.
Viktor: "Kejutannya berhasil, kan?"
Cintya: "Ini tidak lucu!"
Viktor: "Hh.. aku sudah susah payah bersembunyi di situ. Tapi.. kau tidak tertawa."
Cintya masih diam. Ia sama sekali tidak tertawa. Senyum pun sepertinya sangat mahal.
Viktor: "Kau tidak suka, ya?"
Ia tersenyum. Lalu duduk di samping gadis itu. Mendekatinya.. dan mendekatinya. Lalu, Cintya mendorongnya kuat-kuat.
Cintya: "Kau menyebalkan!"
Ia mendorong terlalu kuat, hingga kepala Vikter terbentur pintu mobil.
Viktor: "Ah.. kau kasar sekali. Kepalaku.. sakitnya.."
Cintya segera melihatnya.
Cintya: "Maaf, aku tidak sengaja.. Coba lihat.. apa terluka?"
Tiba-tiba Viktor malah tertawa.
Viktor: "Kau kena lagi!"
Cintya kesal. Ia memukul dada pria itu.
Cintya: "Sama sekali tidak lucu! Jangan tertawa!"
Viktor: "Benarkah, tidak lucu? Wah.. aku harus pikirkan cara lain, supaya bisa membuatmu tertawa."
Ia masih berpikir.
Viktor: "Ng.. Ben, kau ada ide?"
Ben hanya tertawa. Ia melihat wajah cemberut Cintya, dan Viktor yang sedang bingung lewat kaca spion tengah.
Ben: "Ng.. apa, ya..?"
Cintya: "Eh.. sudahlah.. kenapa kalian malah sibuk untuk mengerjaiku? Baiklah. Dari tadi kau sudah lucu, Viktor."
Ia terpaksa tertawa.
Viktor: "Kenapa.. tawanya terpaksa begitu?"
Melihat tingkah Viktor memang lucu. Lama-lama, Cintya tertawa lepas. Membuat Viktor dan Ben ikut tertawa.
Sesampainya di rumah, Viktor langsung ke kantor. Cintya sendiri segera istirahat siang sambil mengerjakan tugas sekolah. Karena Cintya sendirian, Viktor meminta Ben untuk menemani gadis itu.
Sudah pukul 4 sore. Viktor belum kembali. Ben.. entah di mana dan sedang apa.
Cintya keluar dari kamarnya. Ia lapar. Ia berjalan ke dapur. Di kulkas, ia menemukan sekotak sereal dan setengah botol susu. Juga ada roti dan selai.
Cintya: "Ah.. malas sekali masak. Aku makan ini saja."
Rasanya nikmat sekali. Meski sendirian. Ia mengambil sebotol pepsi dan gelas kosong. Ugh.. segarnya.
Tapi, kenikmatannya sedikit terganggu. Ia mendengar suara langkah kaki yang berat di belakangnya.
Cintya: "Sudahlah, Viktor. Aku tidak akan terkejut. Jadi, acara kejutanmu gagal total."
Ia bicara dengan mulut penuh makanan.
Langkah itu tak juga berhenti. Malah semakin mendekat. Cintya pun menoleh. Dan melihat seseorang yang bukan Viktor. Juga bukan Ben. Ia adalah seorang wanita dewasa yang cantik dan sangat anggun.
Cintya segera menelan makanannya. Setelah itu baru bicara.
Cintya: "Ka, kau siapa?"
Wanita itu tersenyum kecut. Sepertinya sedang kesal. Dia adalah Ashley.
Ashley: "Seharusnya, aku yang tanya. Kau siapa? Pembantu baru Viktor?"
Cintya: "Jangan sembarangan bicara! Kau sendiri siapa? Masuk kemari tanpa mengetuk pintu? Tanpa mengucap permisi? Sangat tidak sopan!"
Ashley: "Kau ini.. kurang ajar sekali! Asal kau tau, aku calon istri Viktor!"
Degg! Calon istri?
Viktor: "Sebaiknya, kau tinggal di sini. Aku tidak mau kau sampai tidur di jalanan yang dingin itu."
Cintya: "Baiklah.. Terimakasih, Viktor.."
Mulai hari itu, Cintya tinggal di rumah Viktor. Setiap ke sekolah, Viktor mengantarnya dengan mobil mewah. Membuat seluruh teman sekolah Cintya berdecak kagum. Pulangnya, juga begitu. Viktor yang menjemput.
Suatu siang, Viktor sudah menunggu di depan sekolah. Ia berdiri di depan mobilnya. Lalu melihat Cintya baru keluar dari gerbang sekolah, dan berjalan cepat menghampiri Viktor.
Cintya: "Aku senang sekali hari ini.."
Mereka ngobrol di dalam mobil.
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Hasil testku minggu ini.. nilainya bagus. Aku puas."
Viktor: "Aku ucapkan selamat."
Tawa Cintya mulai pudar.
Cintya: "Viktor, aku ingin cari kerja."
Viktor: "Kerja? Untuk apa?"
Cintya: "Bodoh! Tentu saja untuk dapat uang. Aku harus bayar uang sekolah, beli buku, baju, sepatu, dan kebutuhanku yang lain."
Viktor: "Cintya, kau masih muda. Sebaiknya belajar saja sampai lulus. Kalau kau butuh sesuatu, kau bilang saja padaku."
Cintya menyentuh tangan pria itu.
Cintya: "Viktor, kau sudah terlalu baik padaku. Dan kau mau melakukan banyak kebaikan lagi untukku. Apakah aku pantas menerimanya? Entah apa yang harus ku lakukan untuk membalasnya. Aku pasti tak akan sanggup."
Viktor menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menoleh pada Cintya, dan menatap gadis itu lekat-lekat. Menggenggam kedua tangannya.
Viktor: "Aku senang berbuat baik padamu. Tapi.. kalau kau terus berpikir untuk membalas kebaikan ini.. Aku akan merasa sangat sedih.."
Cintya: "Ti, tidak.. Bukan begitu. Aku.. tidak ingin membuatmu sedih. Sungguh.."
Viktor: "Kalau begitu, jangan pernah memikirkan cara untuk membalas ini semua."
Cintya: "Baiklah.. Tapi.. biarkan sudatu hari nanti, aku melakukan sesuatu yang terbaik untukmu."
Viktor: "Kalau begitu, sudah diputuskan.."
Viktor memang orang yang sangat baik. Ia tampan dan kaya. Ia memiliki banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Kekayaannya tak kan habis dimakan 100 generasi pun. Anehnya, di usianya saat ini.. ia belum beristri. Jangankan istri. Pacar saja dia tidak punya.
Viktor: "Sejak aku kehilangan kedua orang tuaku, saat berumur 21 tahun, aku tidak pernah berpikir tentang wanita, menikah, atau berkeluarga. Aku hanya berpikir untuk mempertahankan apa yang selalu diperjuangkan oleh ayahku. Yaitu kejayaan, kesuksesan, dan kekayaan sebesar ini.."
Cintya: "Kau benar-benar hebat."
Viktor: "Di rumah ini, aku hanya tinggal bersama Ben. Sepupuku, yang juga asistentku."
Cintya: "Aku kagum sekali padamu. Kau orang sibuk. Tapi tidak mengandalkan pelayan untuk melayanimu. Ben juga begitu setia."
Viktor: "Jujur saja, selama ini aku merasa kesepian. Tapi, setelah ada kau, rasanya.. kesepian itu berkurang."
Cintya tersenyum.
Cintya: "Kalau begitu, aku akan menemanimu. Agar tidak kesepian. Lagi pula, aku juga tidak ingin pulang. Aku tidak mau kembali. Kalau tidak ada kau.. pasti aku sudah jadi gelandangan yang kesepian. Ternyata.. Tuhan masih baik padaku."
Cintya berdiri, lalu memalingkan wajahnya. Menatap ke luar jendela. Ada banyak bintang bertaburan. Terlihat pula gedung-gedung menjulang tinggi, hanya tampak atapnya saja.
Suatu hari, saat pulang sekolah, Viktor tidak bisa menjemput Cintya. Ia menyuruh Ben menjemput gadis itu.
Cintya: "Viktor mana?"
Ben: "Ada rapat dengan beberapa relasi. Nanti sore baru selesai."
Cintya: "Oh.."
Ia masuk ke mobil. Melepas tas punggungnya. Setelah begitu panasnya terik matahari, kini terasa sangat sejuk setelah masuk mobil, dengan AC yang menyala.
Tiba-tiba terdengar suara ribut di jok belakang. Dan muncullah seorang pria yang sangat dikenal oleh Cintya.
Cintya: "Viktor?! Apa yang sedang kau lakukan?"
Viktor: "Aku.. cuma mau memberikan kejutan untukmu.."
Cintya: "Kau ini.."
Viktor: "Ben! Kenapa di belakang sini bau sekali?"
Ben: "Nanti ku periksa."
Cintya masih menatap Viktor. Pria itu tersenyum.
Viktor: "Kejutannya berhasil, kan?"
Cintya: "Ini tidak lucu!"
Viktor: "Hh.. aku sudah susah payah bersembunyi di situ. Tapi.. kau tidak tertawa."
Cintya masih diam. Ia sama sekali tidak tertawa. Senyum pun sepertinya sangat mahal.
Viktor: "Kau tidak suka, ya?"
Ia tersenyum. Lalu duduk di samping gadis itu. Mendekatinya.. dan mendekatinya. Lalu, Cintya mendorongnya kuat-kuat.
Cintya: "Kau menyebalkan!"
Ia mendorong terlalu kuat, hingga kepala Vikter terbentur pintu mobil.
Viktor: "Ah.. kau kasar sekali. Kepalaku.. sakitnya.."
Cintya segera melihatnya.
Cintya: "Maaf, aku tidak sengaja.. Coba lihat.. apa terluka?"
Tiba-tiba Viktor malah tertawa.
Viktor: "Kau kena lagi!"
Cintya kesal. Ia memukul dada pria itu.
Cintya: "Sama sekali tidak lucu! Jangan tertawa!"
Viktor: "Benarkah, tidak lucu? Wah.. aku harus pikirkan cara lain, supaya bisa membuatmu tertawa."
Ia masih berpikir.
Viktor: "Ng.. Ben, kau ada ide?"
Ben hanya tertawa. Ia melihat wajah cemberut Cintya, dan Viktor yang sedang bingung lewat kaca spion tengah.
Ben: "Ng.. apa, ya..?"
Cintya: "Eh.. sudahlah.. kenapa kalian malah sibuk untuk mengerjaiku? Baiklah. Dari tadi kau sudah lucu, Viktor."
Ia terpaksa tertawa.
Viktor: "Kenapa.. tawanya terpaksa begitu?"
Melihat tingkah Viktor memang lucu. Lama-lama, Cintya tertawa lepas. Membuat Viktor dan Ben ikut tertawa.
Sesampainya di rumah, Viktor langsung ke kantor. Cintya sendiri segera istirahat siang sambil mengerjakan tugas sekolah. Karena Cintya sendirian, Viktor meminta Ben untuk menemani gadis itu.
Sudah pukul 4 sore. Viktor belum kembali. Ben.. entah di mana dan sedang apa.
Cintya keluar dari kamarnya. Ia lapar. Ia berjalan ke dapur. Di kulkas, ia menemukan sekotak sereal dan setengah botol susu. Juga ada roti dan selai.
Cintya: "Ah.. malas sekali masak. Aku makan ini saja."
Rasanya nikmat sekali. Meski sendirian. Ia mengambil sebotol pepsi dan gelas kosong. Ugh.. segarnya.
Tapi, kenikmatannya sedikit terganggu. Ia mendengar suara langkah kaki yang berat di belakangnya.
Cintya: "Sudahlah, Viktor. Aku tidak akan terkejut. Jadi, acara kejutanmu gagal total."
Ia bicara dengan mulut penuh makanan.
Langkah itu tak juga berhenti. Malah semakin mendekat. Cintya pun menoleh. Dan melihat seseorang yang bukan Viktor. Juga bukan Ben. Ia adalah seorang wanita dewasa yang cantik dan sangat anggun.
Cintya segera menelan makanannya. Setelah itu baru bicara.
Cintya: "Ka, kau siapa?"
Wanita itu tersenyum kecut. Sepertinya sedang kesal. Dia adalah Ashley.
Ashley: "Seharusnya, aku yang tanya. Kau siapa? Pembantu baru Viktor?"
Cintya: "Jangan sembarangan bicara! Kau sendiri siapa? Masuk kemari tanpa mengetuk pintu? Tanpa mengucap permisi? Sangat tidak sopan!"
Ashley: "Kau ini.. kurang ajar sekali! Asal kau tau, aku calon istri Viktor!"
Degg! Calon istri?
Jumat, 11 Juli 2008
Quit Playin' Games With My Heart (episode 2)
Gara-gara berdarah, Cintya harus lebih lama tinggal di rumah sakit.
Cintya: "Sebaiknya, aku sendiri yang telpon ke rumah."
Ia menekan nomer telpon rumahnya. Suara Tanya terdengar girang saat menerima telpon dari Cintya.
Cintya: "Ibu, Maaf.. baru menelpon. Aku tidak bisa pulang dalam waktu dekat. Ada ujian mental di kelasku. Mungkin seminggu aku akan menginap di sekolah."
Tanya: "Pakaianmu?"
Cintya: "Ada temanku yang meminjamkan."
Tanya: "Baiklah. Ibu jadi lega."
Cintya menutup telpon, tepat saat Viktor datang.
Cintya: "Apa.. kau tidak terbiasa dengan budaya ketuk pintu? Kau membuatku kaget."
Viktor tertawa.
Viktor: "Maaf.. tapi tadi aku sudah mengetuk. Kau saja yang tidak dengar.."
Cintya: "Ng.. Viktor, kau tau, di mana remote tv-nya?"
Viktor: "Sebentar.."
Ia mencarinya di laci. Ketemu!
Cintya menyalakan tv, dan nonton channel olahraga. Ada pertandingan basket antara LA Lakers dan Phoenix Suns. NBA Seasons 2008.
Cintya asik sekali nonton. Tanpa peduli pada Viktor. Apalagi saat Kobe Bryant mencetak poin.
Cintya: "Yeah! Kobe Bryant Hebat!!"
Ia menoleh pada Viktor.
Cintya: "Antara Kobe dan Shaq? Ya Tuhan! Aku tidak tau harus dukung yang mana.."
Viktor: "Aku rasa.. Lakers lebih baik. Jadi, dukung Lakers saja.."
Cintya: "Tapi, aku juga suka Suns.. Hh.. bingung!"
Di akhir kuarter, poin kedua team saling mengejar. Tapi, waktu telah habis, dan dimenangi oleh Lakers!
Cintya: "Yee!! Lakers!! Goo!!"
Ia berteriak senang.
Viktor hanya bisa tertawa melihat tingkah Cintya yang polos.
Viktor: "Sekarang, waktunya kau makan malam."
Cintya: "Aku ingin makan salad buah.."
Viktor: "Salad buah? Baiklah.. Kau tunggu."
Cintya: "Iya."
Viktor menelpon asistennya Ben Reed. Menyuruhnya beli salad buah spesial.
Cintya: "Kau sangat baik padaku, Viktor. Aku.. tidak pernah menerima kebaikan seperti ini sebelumnya."
Viktor: "Aku juga tidak tau mengapa bisa begini padamu. Tapi.. biarkan saja. Aku sangat menikmatinya. Meskipun kadang kau sangat kekanak-kanakan.."
Cintya: "Aku kekanak-kanakan? Bagaimana denganmu? Ketua-tuaan?"
Keduanya tertawa.
Viktor: "Aku belum tua. Usiaku masih.. belum 40."
Mereka asik bersenda-gurau, sambil menunggu salad.
Ben mengetuk pintu kamar Cintya. Suara Viktor terdengar dari dalam.
Viktor: "Masuk saja, Ben!"
Ben membuka pintu, lalu memberikan sekotak salad pada Viktor.
Viktor: "Sekarang, kau harus makan."
Ia membuka tutup kotak salad.
Cintya: "Kau.. mau menyuapiku?"
Viktor: "Baiklah.."
Ia menyuapkan salad ke mulut Cintya.
Vitkor: "Lezat, kan?"
Cintya: "Lezat sekali.."
Ia terus menerima suap demi suap salad, sampai habis.
Cintya: "Ya Tuhan.. rasanya aku mau pingsan.."
Viktor: "Eh.. jangan sampai pingsan. Kepalamu sakit? Lukanya berdarah lagi?"
Cintya: "Bukan karena itu."
Viktor: "Lalu..?"
Cintya: "Karena kau yang sangat baik padaku.. Tak seperti ayahku.. yang suka sekali marah.."
Viktor: "Tapi.. aku tak mau jadi ayahmu.."
Cintya: "Kenapa?"
Viktor: "Karena aku.. ingin jadi temanmu saja.."
Cintya: "Tentu saja. Aku juga tidak mau kau jadi ayahku.."
Keduanya bercanda lagi.
Tibalah saatnya Cintya sudah boleh pulang.
Viktor: "Aku mengantarmu, ya..?"
Cintya: "Sebaiknya jangan."
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Ayahku bisa berpikiran lain tentang kita.."
Viktor: "Tapi, kau kan masih sakit. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?"
Cintya: "Tidak akan.."
Viktor: "Ayolah.."
Ia mendorong Cintya masuk mobil. Aduhh.. bagaimana ini? Viktor tidak boleh tau rumahku, kata Cintya dalam hati.
Viktor: "Kau tinggal di mana?"
Mobil Viktor sudah keluar dari daerah rumah sakit.
Cintya: "Di.. Baverly Hills.."
Viktor: "Oke.."
Lalu, Cintya menunjuk sebuah rumah besar dan mewah.
Cintya: "Itu rumahku.."
Viktor: "Rumahmu? Kalau begitu, aku akan mampir, supaya mereka tak memarahimu.."
Cintya: "Ja, jangan, Viktor. Ku mohon.."
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Lain kali saja.."
Viktor: "Ng.. baiklah. Tapi.. kita akan bertemu lagi, kan?"
Cintya: "Tentu saja. Setelah pulang sekolah, jemput aku jam 2."
Viktor: "Baiklah.."
Setelah Viktor pergi menjauh dan hilang di ujung jalan, Cintya langsung pulang ke rumah yang sebenarnya, di pinggiran kota yang kumuh.
John dan Tanya memarahi Cintya habis-habisan.
John: "Apakah dalam seminggu, kau tidak ada waktu untuk pulang? Baju pinjam pada teman?! Memalukan!"
Tanya: "Anehnya, temanmu bisa pulang ambil baju, tapi kau tidak bisa. Ada apa ini?"
Cintya tidak takut dimarahi seperti itu.
Cintya: "Percuma saja aku pulang. Sudah minta maaf, tapi kalian sama sekali tidak menghargai aku. Kalau begitu, semakin kuat keputusanku. Aku akan pergi dari rumah ini. Mencari kehidupan yang lebih layak!"
Ia segera mengemasi semua pakaian dan buku sekolahnya.
Tanya mencoba menghalangi.
Tanya: "Cintya! Kau mau ke mana?"
Cintya: "Pergi. Tidak akan lagi menyusahkan kalian. Beban kalian pasti berkurang."
Cintya keluar dari rumah. Dengan dua tas besar di punggung dan tangan. Ia pergi dari rumah.
Cintya: "Ke mana aku harus pergi?"
Dirinya tidak mungkin mencari Viktor. Akan terlihat seperti orang yang tak punya harga diri. Tapi, tidak ada pilihan lain.
Ia menelpon Viktor lewat telpon umum. Baru ditelpon 10 menit, Viktor sudah muncul. Tanpa Ben, sopirnya.
Viktor: "Apa yang terjadi?"
Cintya tak bisa menceritakan. Ia menangis duluan.
Viktor: "Kalau begitu, ke rumahku saja.."
Di mobil, Cintya hanya diam dan diam. Air matanya terus menetes. Viktor menyentuh tangan kiri Cintya, untuk menguatkan gadis itu.
Sampailah di rumah Viktor yang besar dan mewah. Seperti istana.
Cintya: "Rumahmu besar sekali, Viktor.. Apakah.. kau mengajakku tinggal di sini?"
Viktor: "Memangnya mau di mana lagi?"
Cintya: "Ini berlebihan.."
Viktor: "Lantai bawah.. seluruhnya tempat kerja. Lantai paling atas adalah rumahku."
Wow! Viktor kaya sekali..
Ia memliki rumah tiga tingkat yang sangat mewah.
Cintya: "Viktor.. apakah kau ini presiden?"
Viktor: "Presiden kita masih George Bush. Calonnya Barack Obama. Aku tidak masuk daftar."
Cintya tersenyum.
Viktor: "Kau mau kan, tinggal bersamaku di sini?"
Cintya tak menjawab. Viktor menarik tangannya duluan. Naik lift ke lantai 3.
Tatanan rumahnya juga artistik. Semuanya bernuansa biru. Soft dan Hard
Viktor menunjukkan kamar untuk Cintya. Kamar yang sangat mewah. Dindingnya terbuat dari kaca khusus yang tidak bisa dilihat dari luar. Mewah sekali.
Cintya: "Ini.. terlalu bagus. Aku.. tidak bisa menerimanya.."
Viktor: "Kenapa? Bukankah.. rumahmu juga mewah?"
Cintya menundukkan kepala.
Cintya: "Aku tidak seberuntung itu. Maaf, aku tadi tidak menunjukkan rumahku yang sebenarnya.."
Viktor mengerti maksud Cintya. Ia paham apa yang dialami gadis itu.
Cintya: "Sebaiknya, aku sendiri yang telpon ke rumah."
Ia menekan nomer telpon rumahnya. Suara Tanya terdengar girang saat menerima telpon dari Cintya.
Cintya: "Ibu, Maaf.. baru menelpon. Aku tidak bisa pulang dalam waktu dekat. Ada ujian mental di kelasku. Mungkin seminggu aku akan menginap di sekolah."
Tanya: "Pakaianmu?"
Cintya: "Ada temanku yang meminjamkan."
Tanya: "Baiklah. Ibu jadi lega."
Cintya menutup telpon, tepat saat Viktor datang.
Cintya: "Apa.. kau tidak terbiasa dengan budaya ketuk pintu? Kau membuatku kaget."
Viktor tertawa.
Viktor: "Maaf.. tapi tadi aku sudah mengetuk. Kau saja yang tidak dengar.."
Cintya: "Ng.. Viktor, kau tau, di mana remote tv-nya?"
Viktor: "Sebentar.."
Ia mencarinya di laci. Ketemu!
Cintya menyalakan tv, dan nonton channel olahraga. Ada pertandingan basket antara LA Lakers dan Phoenix Suns. NBA Seasons 2008.
Cintya asik sekali nonton. Tanpa peduli pada Viktor. Apalagi saat Kobe Bryant mencetak poin.
Cintya: "Yeah! Kobe Bryant Hebat!!"
Ia menoleh pada Viktor.
Cintya: "Antara Kobe dan Shaq? Ya Tuhan! Aku tidak tau harus dukung yang mana.."
Viktor: "Aku rasa.. Lakers lebih baik. Jadi, dukung Lakers saja.."
Cintya: "Tapi, aku juga suka Suns.. Hh.. bingung!"
Di akhir kuarter, poin kedua team saling mengejar. Tapi, waktu telah habis, dan dimenangi oleh Lakers!
Cintya: "Yee!! Lakers!! Goo!!"
Ia berteriak senang.
Viktor hanya bisa tertawa melihat tingkah Cintya yang polos.
Viktor: "Sekarang, waktunya kau makan malam."
Cintya: "Aku ingin makan salad buah.."
Viktor: "Salad buah? Baiklah.. Kau tunggu."
Cintya: "Iya."
Viktor menelpon asistennya Ben Reed. Menyuruhnya beli salad buah spesial.
Cintya: "Kau sangat baik padaku, Viktor. Aku.. tidak pernah menerima kebaikan seperti ini sebelumnya."
Viktor: "Aku juga tidak tau mengapa bisa begini padamu. Tapi.. biarkan saja. Aku sangat menikmatinya. Meskipun kadang kau sangat kekanak-kanakan.."
Cintya: "Aku kekanak-kanakan? Bagaimana denganmu? Ketua-tuaan?"
Keduanya tertawa.
Viktor: "Aku belum tua. Usiaku masih.. belum 40."
Mereka asik bersenda-gurau, sambil menunggu salad.
Ben mengetuk pintu kamar Cintya. Suara Viktor terdengar dari dalam.
Viktor: "Masuk saja, Ben!"
Ben membuka pintu, lalu memberikan sekotak salad pada Viktor.
Viktor: "Sekarang, kau harus makan."
Ia membuka tutup kotak salad.
Cintya: "Kau.. mau menyuapiku?"
Viktor: "Baiklah.."
Ia menyuapkan salad ke mulut Cintya.
Vitkor: "Lezat, kan?"
Cintya: "Lezat sekali.."
Ia terus menerima suap demi suap salad, sampai habis.
Cintya: "Ya Tuhan.. rasanya aku mau pingsan.."
Viktor: "Eh.. jangan sampai pingsan. Kepalamu sakit? Lukanya berdarah lagi?"
Cintya: "Bukan karena itu."
Viktor: "Lalu..?"
Cintya: "Karena kau yang sangat baik padaku.. Tak seperti ayahku.. yang suka sekali marah.."
Viktor: "Tapi.. aku tak mau jadi ayahmu.."
Cintya: "Kenapa?"
Viktor: "Karena aku.. ingin jadi temanmu saja.."
Cintya: "Tentu saja. Aku juga tidak mau kau jadi ayahku.."
Keduanya bercanda lagi.
Tibalah saatnya Cintya sudah boleh pulang.
Viktor: "Aku mengantarmu, ya..?"
Cintya: "Sebaiknya jangan."
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Ayahku bisa berpikiran lain tentang kita.."
Viktor: "Tapi, kau kan masih sakit. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?"
Cintya: "Tidak akan.."
Viktor: "Ayolah.."
Ia mendorong Cintya masuk mobil. Aduhh.. bagaimana ini? Viktor tidak boleh tau rumahku, kata Cintya dalam hati.
Viktor: "Kau tinggal di mana?"
Mobil Viktor sudah keluar dari daerah rumah sakit.
Cintya: "Di.. Baverly Hills.."
Viktor: "Oke.."
Lalu, Cintya menunjuk sebuah rumah besar dan mewah.
Cintya: "Itu rumahku.."
Viktor: "Rumahmu? Kalau begitu, aku akan mampir, supaya mereka tak memarahimu.."
Cintya: "Ja, jangan, Viktor. Ku mohon.."
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Lain kali saja.."
Viktor: "Ng.. baiklah. Tapi.. kita akan bertemu lagi, kan?"
Cintya: "Tentu saja. Setelah pulang sekolah, jemput aku jam 2."
Viktor: "Baiklah.."
Setelah Viktor pergi menjauh dan hilang di ujung jalan, Cintya langsung pulang ke rumah yang sebenarnya, di pinggiran kota yang kumuh.
John dan Tanya memarahi Cintya habis-habisan.
John: "Apakah dalam seminggu, kau tidak ada waktu untuk pulang? Baju pinjam pada teman?! Memalukan!"
Tanya: "Anehnya, temanmu bisa pulang ambil baju, tapi kau tidak bisa. Ada apa ini?"
Cintya tidak takut dimarahi seperti itu.
Cintya: "Percuma saja aku pulang. Sudah minta maaf, tapi kalian sama sekali tidak menghargai aku. Kalau begitu, semakin kuat keputusanku. Aku akan pergi dari rumah ini. Mencari kehidupan yang lebih layak!"
Ia segera mengemasi semua pakaian dan buku sekolahnya.
Tanya mencoba menghalangi.
Tanya: "Cintya! Kau mau ke mana?"
Cintya: "Pergi. Tidak akan lagi menyusahkan kalian. Beban kalian pasti berkurang."
Cintya keluar dari rumah. Dengan dua tas besar di punggung dan tangan. Ia pergi dari rumah.
Cintya: "Ke mana aku harus pergi?"
Dirinya tidak mungkin mencari Viktor. Akan terlihat seperti orang yang tak punya harga diri. Tapi, tidak ada pilihan lain.
Ia menelpon Viktor lewat telpon umum. Baru ditelpon 10 menit, Viktor sudah muncul. Tanpa Ben, sopirnya.
Viktor: "Apa yang terjadi?"
Cintya tak bisa menceritakan. Ia menangis duluan.
Viktor: "Kalau begitu, ke rumahku saja.."
Di mobil, Cintya hanya diam dan diam. Air matanya terus menetes. Viktor menyentuh tangan kiri Cintya, untuk menguatkan gadis itu.
Sampailah di rumah Viktor yang besar dan mewah. Seperti istana.
Cintya: "Rumahmu besar sekali, Viktor.. Apakah.. kau mengajakku tinggal di sini?"
Viktor: "Memangnya mau di mana lagi?"
Cintya: "Ini berlebihan.."
Viktor: "Lantai bawah.. seluruhnya tempat kerja. Lantai paling atas adalah rumahku."
Wow! Viktor kaya sekali..
Ia memliki rumah tiga tingkat yang sangat mewah.
Cintya: "Viktor.. apakah kau ini presiden?"
Viktor: "Presiden kita masih George Bush. Calonnya Barack Obama. Aku tidak masuk daftar."
Cintya tersenyum.
Viktor: "Kau mau kan, tinggal bersamaku di sini?"
Cintya tak menjawab. Viktor menarik tangannya duluan. Naik lift ke lantai 3.
Tatanan rumahnya juga artistik. Semuanya bernuansa biru. Soft dan Hard
Viktor menunjukkan kamar untuk Cintya. Kamar yang sangat mewah. Dindingnya terbuat dari kaca khusus yang tidak bisa dilihat dari luar. Mewah sekali.
Cintya: "Ini.. terlalu bagus. Aku.. tidak bisa menerimanya.."
Viktor: "Kenapa? Bukankah.. rumahmu juga mewah?"
Cintya menundukkan kepala.
Cintya: "Aku tidak seberuntung itu. Maaf, aku tadi tidak menunjukkan rumahku yang sebenarnya.."
Viktor mengerti maksud Cintya. Ia paham apa yang dialami gadis itu.
Quit Playin' Games With My Heart (episode 1)
Boston, USA.
Istirahat sekolah..
Kelas 3 sedang ramai. Sang ratu sedang memamerkan barang barunya.
Joana: Pacarku membelikan ini untukku.."
Ia menunjukkan kunci mobil mewah pada teman-temannya. Mercedes 2008, keluaran terbaru.
Alba: "Wow.. pacarmu itu kaya sekali."
Joana: "Tentu saja. Pemilik salah satu jaringan bisnis terbesar di Boston. Ia sangat sukses."
Alba: "Kau benar-benar beruntung, Jo.."
Joana: "Karena aku cantik dan seski. Juga anak orang kaya. Masuk ke sekolah ini.. bukan karena beasiswa."
Ia melirik pada seorang siswi berkepang dua, yang duduk di sudut.
Siswi itu adalah Cintya. Bukan siapa-siapa. Ia masuk di Boston Senior High School, karena mendapatkan beasiswa. Orang tuanya tak punya pekerjaan tetap. Kehidupannya bergantung pada undian lotere. Ibunya ahli melakukan itu. Selain mabuk dan berjudi, tidak ada lagi hal berguna yang dilakukan sang ayah.
Joana paling hobi menyombongkan diri di hadapan Cintya. Dibantu sahabatnya, Alba.
Suatu kali, Cintya tidak tahan lagi dengan kehidupannya. Ia pun mulai berkamuflase. Merubah penampilannya. Membuat semua pria jadi memandangnya.
Cintya: "Ibuku menang undian besar."
Hal itu membuat Joana jadi punya saingan.
Di rumah..
Ibu Cintya, Tanya, memarahi sang suami, John, karena terus mabuk.
Tanya: "Kau jangan mabuk terus! Pikirkan keadaan hidup kita!"
Karena John tak juga sadar, maka istrinya menyiramkan seember air dingin.
John: "Kau ini apa-apaan?!"
Tanya: "Berhentilah mabuk! Coba cari cara, untuk memperbaiki hidup ini!"
John melap badannya dengan handuk kumal.
John: "Kita kembali saja ke Los Angeles!"
Cintya menolak rencana ayah dan ibunya untuk kembali ke Los Angeles.
Cintya: "Tidak, ayah.. ibu.. Aku mulai menyukai hidup di Boston."
John: "Kita tetap akan pulang. Dan itu adalah keputusanku! Tidak peduli kau mau atau tidak!"
Tanya: "Kau hanyalah seorang anak. Usiamu belum 20 tahun. Jadi, patuhilah perintah orang tuamu!"
Cintya kesal. Tapi tak bisa berbuat apa-apa, selain menurut.
Keluarga Miller pun berangkat ke Los Angeles dengan kereta ekonomi super murah.
Di LA..
Mereka punya banyak saudara, yang bisa dimintai tolong. Mereka juga pinjam uang untuk menyekolahkan Cintya di sekolah yang biasa-biasa saja.
Suatu hari sepulang sekolah..
Cintya tak langsung pulang. Ia ingin menyendiri di tengah keramaian kota LA. Ia duduk di tepi sebuah kolam ikan.
Cintya: "Kenapa aku ditakdirkan hidup seperti ini?"
Ia berjalan lagi. Kali ini hendak pulang.
Saat menyeberangi jalan..
Tiba-tiba, dari arah yang tak terlalu jauh, muncul sebuah mobil porsche hitam metalic melaju dengan kecepatan tak terlalu kencang.
Cintya dari tadi melamun. Ia pun tak sempat menghindar. Maka, terjadilah tabrakan itu.
Sopir mobil turun, dan coba melihat keadaan orang yang ditabraknya. Gadis itu masih dalam keadaan sadar. Majikan sopir itu ikut turun dan melihatnya.
Cintya: "Kenapa.. kau tidak menabrakku sampai mati?"
Lalu gadis itu pingsan.
Majikan: "Kenapa kau diam saja?! Bawa dia ke rumah sakit!"
Sopir: "Tapi, Pak.. Dia sudah sekarat."
Majikan: "Bodoh!"
Karena sopirnya tak segera melaksanakan perintahnya, maka, ia sendiri yang membawa gadis itu ke mobil.
Majikan: "Cepat setir mobilnya! Kita ke rumah sakit!"
Sopir: "Ta, tapi.. bagaimana dengan rapat bersama Tn. Beneth?"
Majikan: "Nyawa gadis ini.. lebih penting!"
Untunglah, gadis itu selamat, dan hanya perlu dirawat intensif.
Cintya membuka matanya. Dan mendapati dirinya di kamar rumah sakit. Kepalanya diperban. Juga tangan dan kakinya.
Kemudian.. "Kamu sudah sadar?"
Cintya melihat seorang pria dewasa duduk di tepi ranjangnya. Pria itu begitu tampan dan bersih. Hanya saja, kemejanya penuh bercak darah.
Cintya: "Kau siapa?"
Pria itu tersenyum. "Namaku.. Viktor."
Cintya: "Viktor..?"
Cintya tersenyum juga.
Cintya: "Benarkah.. itu namamu?"
Viktor: "Kau tidak percaya? Baik.."
Ia mengeluarkan Kartu pengenalnya. Cintya membaca nama Viktor McMahon di kartu itu. Usianya 34 tahun. Cintya mencoba bangun. Tapi, kepalanya terasa berat.
Viktor: "Hei, kau masih sakit. Jangan banyak bergerak."
Cintya: "Tapi.. aku mau pulang.."
Viktor: "Begini saja, berikan nomer telpon rumahmu padaku. Akan ku minta orang tuamu datang ke sini.."
Cintya: "Ja, jangan! Aku tidak mau mereka tau aku kecelakaan."
Viktor: "Kalau begitu, kau juga tidak bisa pulang. Kalau mereka melihat lukamu ini bagaimana?"
Cintya: "Kau benar.. tapi.. sampai berapa lama aku di sini? Alasan apa yang akan ku katakan pada mereka? Mereka bisa membunuhku.."
Viktor: "Separah itukah? Kalau begitu, tinggal bersamaku saja. Dijamin, kau akan aman."
Cintya tersenyum.
Cintya: "Aman dari siapa? Belum tentu aman darimu. Kau laki-laki tua berumur, sedangkan aku gadis muda belia. Bukankah akan bahaya kalau tinggal serumah.
Viktor tertawa.
Viktor: "Kalau kau banyak istirahat, kau pasti bisa segera pulang."
Cintya: "Benarkah?"
Viktor: "Iya.."
Cintya: "Baiklah.. Aku akan tidur sekarang."
Viktor membetulkan selimut Cintya.
Viktor: "Oh ya, namamu siapa?"
Cintya: "Cintya. Cintya Miller."
Viktor: "Baik, Cintya. Besok, aku ke sini lagi.."
Benar, orang tua Cintya, John dan Tanya cemas sekali, karena putri mereka belum juga pulang dari sekolah.
Tanya: "Bagaimana ini, John?"
John: "Tenanglah.. mungkin dia menginap di rumah teman."
Tanya: "Sebaiknya.. kita telpon polisi."
John: "Tidak bisa! Dia baru pergi enam jam. Aturannya 48 jam."
Berkali-kali Tanya mondar-mandir, lalu melihat keluar rumah. Berharap Cintya pulang. Tapi, hingga esok harinya, Cintya belum juga pulang.
Cintya sedang mencoba berjalan. Dibantu Viktor, dan seorang perawat.
Cintya: "Untung saja.. aku tidak lumpuh."
Tapi, rasa perih di kaki kirinya tetap saja terasa.
Viktor: "Pelan-pelan, saja.."
Cintya: "Tolong, aku ingin coba jalan sendiri. Jangan pegangi aku.."
Viktor: "Yakin?"
Cintya: "Sangat yakin.."
Ia berjalan ke ranjangnya. Tapi.. belum separuh perjalanan, rasa perih itu kembali muncul, membuat Cintya kesakitan. Ia hendak jatuh. Viktor segera menolongnya.
Viktor: "Kau tidak apa-apa?"
Cintya: "Aku kan sudah bilang, jangan pegangi aku. Aku mau berdiri sendiri."
Viktor: "Tapi.."
Cintya: "Aku bisa.."
Kemudian..
Perawat: "Nona.. lukamu berdarah lgi. Sebaiknya, aku papah kau ke ranjang."
Viktor: "Biar aku saja.."
Ia segera menggendong Cintya ke ranjang.
Cintya: "Kenapa kau malah menggendongku?"
Viktor: "Kau ingin segera pulang, kan? Kalau begitu, turutilah apa kata dokter.."
Cintya langsung cemberut.
Istirahat sekolah..
Kelas 3 sedang ramai. Sang ratu sedang memamerkan barang barunya.
Joana: Pacarku membelikan ini untukku.."
Ia menunjukkan kunci mobil mewah pada teman-temannya. Mercedes 2008, keluaran terbaru.
Alba: "Wow.. pacarmu itu kaya sekali."
Joana: "Tentu saja. Pemilik salah satu jaringan bisnis terbesar di Boston. Ia sangat sukses."
Alba: "Kau benar-benar beruntung, Jo.."
Joana: "Karena aku cantik dan seski. Juga anak orang kaya. Masuk ke sekolah ini.. bukan karena beasiswa."
Ia melirik pada seorang siswi berkepang dua, yang duduk di sudut.
Siswi itu adalah Cintya. Bukan siapa-siapa. Ia masuk di Boston Senior High School, karena mendapatkan beasiswa. Orang tuanya tak punya pekerjaan tetap. Kehidupannya bergantung pada undian lotere. Ibunya ahli melakukan itu. Selain mabuk dan berjudi, tidak ada lagi hal berguna yang dilakukan sang ayah.
Joana paling hobi menyombongkan diri di hadapan Cintya. Dibantu sahabatnya, Alba.
Suatu kali, Cintya tidak tahan lagi dengan kehidupannya. Ia pun mulai berkamuflase. Merubah penampilannya. Membuat semua pria jadi memandangnya.
Cintya: "Ibuku menang undian besar."
Hal itu membuat Joana jadi punya saingan.
Di rumah..
Ibu Cintya, Tanya, memarahi sang suami, John, karena terus mabuk.
Tanya: "Kau jangan mabuk terus! Pikirkan keadaan hidup kita!"
Karena John tak juga sadar, maka istrinya menyiramkan seember air dingin.
John: "Kau ini apa-apaan?!"
Tanya: "Berhentilah mabuk! Coba cari cara, untuk memperbaiki hidup ini!"
John melap badannya dengan handuk kumal.
John: "Kita kembali saja ke Los Angeles!"
Cintya menolak rencana ayah dan ibunya untuk kembali ke Los Angeles.
Cintya: "Tidak, ayah.. ibu.. Aku mulai menyukai hidup di Boston."
John: "Kita tetap akan pulang. Dan itu adalah keputusanku! Tidak peduli kau mau atau tidak!"
Tanya: "Kau hanyalah seorang anak. Usiamu belum 20 tahun. Jadi, patuhilah perintah orang tuamu!"
Cintya kesal. Tapi tak bisa berbuat apa-apa, selain menurut.
Keluarga Miller pun berangkat ke Los Angeles dengan kereta ekonomi super murah.
Di LA..
Mereka punya banyak saudara, yang bisa dimintai tolong. Mereka juga pinjam uang untuk menyekolahkan Cintya di sekolah yang biasa-biasa saja.
Suatu hari sepulang sekolah..
Cintya tak langsung pulang. Ia ingin menyendiri di tengah keramaian kota LA. Ia duduk di tepi sebuah kolam ikan.
Cintya: "Kenapa aku ditakdirkan hidup seperti ini?"
Ia berjalan lagi. Kali ini hendak pulang.
Saat menyeberangi jalan..
Tiba-tiba, dari arah yang tak terlalu jauh, muncul sebuah mobil porsche hitam metalic melaju dengan kecepatan tak terlalu kencang.
Cintya dari tadi melamun. Ia pun tak sempat menghindar. Maka, terjadilah tabrakan itu.
Sopir mobil turun, dan coba melihat keadaan orang yang ditabraknya. Gadis itu masih dalam keadaan sadar. Majikan sopir itu ikut turun dan melihatnya.
Cintya: "Kenapa.. kau tidak menabrakku sampai mati?"
Lalu gadis itu pingsan.
Majikan: "Kenapa kau diam saja?! Bawa dia ke rumah sakit!"
Sopir: "Tapi, Pak.. Dia sudah sekarat."
Majikan: "Bodoh!"
Karena sopirnya tak segera melaksanakan perintahnya, maka, ia sendiri yang membawa gadis itu ke mobil.
Majikan: "Cepat setir mobilnya! Kita ke rumah sakit!"
Sopir: "Ta, tapi.. bagaimana dengan rapat bersama Tn. Beneth?"
Majikan: "Nyawa gadis ini.. lebih penting!"
Untunglah, gadis itu selamat, dan hanya perlu dirawat intensif.
Cintya membuka matanya. Dan mendapati dirinya di kamar rumah sakit. Kepalanya diperban. Juga tangan dan kakinya.
Kemudian.. "Kamu sudah sadar?"
Cintya melihat seorang pria dewasa duduk di tepi ranjangnya. Pria itu begitu tampan dan bersih. Hanya saja, kemejanya penuh bercak darah.
Cintya: "Kau siapa?"
Pria itu tersenyum. "Namaku.. Viktor."
Cintya: "Viktor..?"
Cintya tersenyum juga.
Cintya: "Benarkah.. itu namamu?"
Viktor: "Kau tidak percaya? Baik.."
Ia mengeluarkan Kartu pengenalnya. Cintya membaca nama Viktor McMahon di kartu itu. Usianya 34 tahun. Cintya mencoba bangun. Tapi, kepalanya terasa berat.
Viktor: "Hei, kau masih sakit. Jangan banyak bergerak."
Cintya: "Tapi.. aku mau pulang.."
Viktor: "Begini saja, berikan nomer telpon rumahmu padaku. Akan ku minta orang tuamu datang ke sini.."
Cintya: "Ja, jangan! Aku tidak mau mereka tau aku kecelakaan."
Viktor: "Kalau begitu, kau juga tidak bisa pulang. Kalau mereka melihat lukamu ini bagaimana?"
Cintya: "Kau benar.. tapi.. sampai berapa lama aku di sini? Alasan apa yang akan ku katakan pada mereka? Mereka bisa membunuhku.."
Viktor: "Separah itukah? Kalau begitu, tinggal bersamaku saja. Dijamin, kau akan aman."
Cintya tersenyum.
Cintya: "Aman dari siapa? Belum tentu aman darimu. Kau laki-laki tua berumur, sedangkan aku gadis muda belia. Bukankah akan bahaya kalau tinggal serumah.
Viktor tertawa.
Viktor: "Kalau kau banyak istirahat, kau pasti bisa segera pulang."
Cintya: "Benarkah?"
Viktor: "Iya.."
Cintya: "Baiklah.. Aku akan tidur sekarang."
Viktor membetulkan selimut Cintya.
Viktor: "Oh ya, namamu siapa?"
Cintya: "Cintya. Cintya Miller."
Viktor: "Baik, Cintya. Besok, aku ke sini lagi.."
Benar, orang tua Cintya, John dan Tanya cemas sekali, karena putri mereka belum juga pulang dari sekolah.
Tanya: "Bagaimana ini, John?"
John: "Tenanglah.. mungkin dia menginap di rumah teman."
Tanya: "Sebaiknya.. kita telpon polisi."
John: "Tidak bisa! Dia baru pergi enam jam. Aturannya 48 jam."
Berkali-kali Tanya mondar-mandir, lalu melihat keluar rumah. Berharap Cintya pulang. Tapi, hingga esok harinya, Cintya belum juga pulang.
Cintya sedang mencoba berjalan. Dibantu Viktor, dan seorang perawat.
Cintya: "Untung saja.. aku tidak lumpuh."
Tapi, rasa perih di kaki kirinya tetap saja terasa.
Viktor: "Pelan-pelan, saja.."
Cintya: "Tolong, aku ingin coba jalan sendiri. Jangan pegangi aku.."
Viktor: "Yakin?"
Cintya: "Sangat yakin.."
Ia berjalan ke ranjangnya. Tapi.. belum separuh perjalanan, rasa perih itu kembali muncul, membuat Cintya kesakitan. Ia hendak jatuh. Viktor segera menolongnya.
Viktor: "Kau tidak apa-apa?"
Cintya: "Aku kan sudah bilang, jangan pegangi aku. Aku mau berdiri sendiri."
Viktor: "Tapi.."
Cintya: "Aku bisa.."
Kemudian..
Perawat: "Nona.. lukamu berdarah lgi. Sebaiknya, aku papah kau ke ranjang."
Viktor: "Biar aku saja.."
Ia segera menggendong Cintya ke ranjang.
Cintya: "Kenapa kau malah menggendongku?"
Viktor: "Kau ingin segera pulang, kan? Kalau begitu, turutilah apa kata dokter.."
Cintya langsung cemberut.
Langganan:
Postingan (Atom)