Jumat, 11 Juli 2008

Quit Playin' Games With My Heart (episode 1)

Boston, USA.
Istirahat sekolah..
Kelas 3 sedang ramai. Sang ratu sedang memamerkan barang barunya.
Joana: Pacarku membelikan ini untukku.."
Ia menunjukkan kunci mobil mewah pada teman-temannya. Mercedes 2008, keluaran terbaru.
Alba: "Wow.. pacarmu itu kaya sekali."
Joana: "Tentu saja. Pemilik salah satu jaringan bisnis terbesar di Boston. Ia sangat sukses."
Alba: "Kau benar-benar beruntung, Jo.."
Joana: "Karena aku cantik dan seski. Juga anak orang kaya. Masuk ke sekolah ini.. bukan karena beasiswa."
Ia melirik pada seorang siswi berkepang dua, yang duduk di sudut.
Siswi itu adalah Cintya. Bukan siapa-siapa. Ia masuk di Boston Senior High School, karena mendapatkan beasiswa. Orang tuanya tak punya pekerjaan tetap. Kehidupannya bergantung pada undian lotere. Ibunya ahli melakukan itu. Selain mabuk dan berjudi, tidak ada lagi hal berguna yang dilakukan sang ayah.
Joana paling hobi menyombongkan diri di hadapan Cintya. Dibantu sahabatnya, Alba.

Suatu kali, Cintya tidak tahan lagi dengan kehidupannya. Ia pun mulai berkamuflase. Merubah penampilannya. Membuat semua pria jadi memandangnya.
Cintya: "Ibuku menang undian besar."
Hal itu membuat Joana jadi punya saingan.

Di rumah..
Ibu Cintya, Tanya, memarahi sang suami, John, karena terus mabuk.
Tanya: "Kau jangan mabuk terus! Pikirkan keadaan hidup kita!"
Karena John tak juga sadar, maka istrinya menyiramkan seember air dingin.
John: "Kau ini apa-apaan?!"
Tanya: "Berhentilah mabuk! Coba cari cara, untuk memperbaiki hidup ini!"
John melap badannya dengan handuk kumal.
John: "Kita kembali saja ke Los Angeles!"

Cintya menolak rencana ayah dan ibunya untuk kembali ke Los Angeles.
Cintya: "Tidak, ayah.. ibu.. Aku mulai menyukai hidup di Boston."
John: "Kita tetap akan pulang. Dan itu adalah keputusanku! Tidak peduli kau mau atau tidak!"
Tanya: "Kau hanyalah seorang anak. Usiamu belum 20 tahun. Jadi, patuhilah perintah orang tuamu!"
Cintya kesal. Tapi tak bisa berbuat apa-apa, selain menurut.

Keluarga Miller pun berangkat ke Los Angeles dengan kereta ekonomi super murah.

Di LA..
Mereka punya banyak saudara, yang bisa dimintai tolong. Mereka juga pinjam uang untuk menyekolahkan Cintya di sekolah yang biasa-biasa saja.

Suatu hari sepulang sekolah..
Cintya tak langsung pulang. Ia ingin menyendiri di tengah keramaian kota LA. Ia duduk di tepi sebuah kolam ikan.
Cintya: "Kenapa aku ditakdirkan hidup seperti ini?"
Ia berjalan lagi. Kali ini hendak pulang.
Saat menyeberangi jalan..
Tiba-tiba, dari arah yang tak terlalu jauh, muncul sebuah mobil porsche hitam metalic melaju dengan kecepatan tak terlalu kencang.
Cintya dari tadi melamun. Ia pun tak sempat menghindar. Maka, terjadilah tabrakan itu.
Sopir mobil turun, dan coba melihat keadaan orang yang ditabraknya. Gadis itu masih dalam keadaan sadar. Majikan sopir itu ikut turun dan melihatnya.
Cintya: "Kenapa.. kau tidak menabrakku sampai mati?"
Lalu gadis itu pingsan.
Majikan: "Kenapa kau diam saja?! Bawa dia ke rumah sakit!"
Sopir: "Tapi, Pak.. Dia sudah sekarat."
Majikan: "Bodoh!"
Karena sopirnya tak segera melaksanakan perintahnya, maka, ia sendiri yang membawa gadis itu ke mobil.
Majikan: "Cepat setir mobilnya! Kita ke rumah sakit!"
Sopir: "Ta, tapi.. bagaimana dengan rapat bersama Tn. Beneth?"
Majikan: "Nyawa gadis ini.. lebih penting!"

Untunglah, gadis itu selamat, dan hanya perlu dirawat intensif.

Cintya membuka matanya. Dan mendapati dirinya di kamar rumah sakit. Kepalanya diperban. Juga tangan dan kakinya.
Kemudian.. "Kamu sudah sadar?"
Cintya melihat seorang pria dewasa duduk di tepi ranjangnya. Pria itu begitu tampan dan bersih. Hanya saja, kemejanya penuh bercak darah.
Cintya: "Kau siapa?"
Pria itu tersenyum. "Namaku.. Viktor."
Cintya: "Viktor..?"
Cintya tersenyum juga.
Cintya: "Benarkah.. itu namamu?"
Viktor: "Kau tidak percaya? Baik.."
Ia mengeluarkan Kartu pengenalnya. Cintya membaca nama Viktor McMahon di kartu itu. Usianya 34 tahun. Cintya mencoba bangun. Tapi, kepalanya terasa berat.
Viktor: "Hei, kau masih sakit. Jangan banyak bergerak."
Cintya: "Tapi.. aku mau pulang.."
Viktor: "Begini saja, berikan nomer telpon rumahmu padaku. Akan ku minta orang tuamu datang ke sini.."
Cintya: "Ja, jangan! Aku tidak mau mereka tau aku kecelakaan."
Viktor: "Kalau begitu, kau juga tidak bisa pulang. Kalau mereka melihat lukamu ini bagaimana?"
Cintya: "Kau benar.. tapi.. sampai berapa lama aku di sini? Alasan apa yang akan ku katakan pada mereka? Mereka bisa membunuhku.."
Viktor: "Separah itukah? Kalau begitu, tinggal bersamaku saja. Dijamin, kau akan aman."
Cintya tersenyum.
Cintya: "Aman dari siapa? Belum tentu aman darimu. Kau laki-laki tua berumur, sedangkan aku gadis muda belia. Bukankah akan bahaya kalau tinggal serumah.
Viktor tertawa.
Viktor: "Kalau kau banyak istirahat, kau pasti bisa segera pulang."
Cintya: "Benarkah?"
Viktor: "Iya.."
Cintya: "Baiklah.. Aku akan tidur sekarang."
Viktor membetulkan selimut Cintya.
Viktor: "Oh ya, namamu siapa?"
Cintya: "Cintya. Cintya Miller."
Viktor: "Baik, Cintya. Besok, aku ke sini lagi.."

Benar, orang tua Cintya, John dan Tanya cemas sekali, karena putri mereka belum juga pulang dari sekolah.
Tanya: "Bagaimana ini, John?"
John: "Tenanglah.. mungkin dia menginap di rumah teman."
Tanya: "Sebaiknya.. kita telpon polisi."
John: "Tidak bisa! Dia baru pergi enam jam. Aturannya 48 jam."
Berkali-kali Tanya mondar-mandir, lalu melihat keluar rumah. Berharap Cintya pulang. Tapi, hingga esok harinya, Cintya belum juga pulang.

Cintya sedang mencoba berjalan. Dibantu Viktor, dan seorang perawat.
Cintya: "Untung saja.. aku tidak lumpuh."
Tapi, rasa perih di kaki kirinya tetap saja terasa.
Viktor: "Pelan-pelan, saja.."
Cintya: "Tolong, aku ingin coba jalan sendiri. Jangan pegangi aku.."
Viktor: "Yakin?"
Cintya: "Sangat yakin.."
Ia berjalan ke ranjangnya. Tapi.. belum separuh perjalanan, rasa perih itu kembali muncul, membuat Cintya kesakitan. Ia hendak jatuh. Viktor segera menolongnya.
Viktor: "Kau tidak apa-apa?"
Cintya: "Aku kan sudah bilang, jangan pegangi aku. Aku mau berdiri sendiri."
Viktor: "Tapi.."
Cintya: "Aku bisa.."
Kemudian..
Perawat: "Nona.. lukamu berdarah lgi. Sebaiknya, aku papah kau ke ranjang."
Viktor: "Biar aku saja.."
Ia segera menggendong Cintya ke ranjang.
Cintya: "Kenapa kau malah menggendongku?"
Viktor: "Kau ingin segera pulang, kan? Kalau begitu, turutilah apa kata dokter.."
Cintya langsung cemberut.

Tidak ada komentar: