Jumat, 11 Juli 2008

Quit Playin' Games With My Heart (episode 2)

Gara-gara berdarah, Cintya harus lebih lama tinggal di rumah sakit.
Cintya: "Sebaiknya, aku sendiri yang telpon ke rumah."
Ia menekan nomer telpon rumahnya. Suara Tanya terdengar girang saat menerima telpon dari Cintya.
Cintya: "Ibu, Maaf.. baru menelpon. Aku tidak bisa pulang dalam waktu dekat. Ada ujian mental di kelasku. Mungkin seminggu aku akan menginap di sekolah."
Tanya: "Pakaianmu?"
Cintya: "Ada temanku yang meminjamkan."
Tanya: "Baiklah. Ibu jadi lega."
Cintya menutup telpon, tepat saat Viktor datang.
Cintya: "Apa.. kau tidak terbiasa dengan budaya ketuk pintu? Kau membuatku kaget."
Viktor tertawa.
Viktor: "Maaf.. tapi tadi aku sudah mengetuk. Kau saja yang tidak dengar.."
Cintya: "Ng.. Viktor, kau tau, di mana remote tv-nya?"
Viktor: "Sebentar.."
Ia mencarinya di laci. Ketemu!
Cintya menyalakan tv, dan nonton channel olahraga. Ada pertandingan basket antara LA Lakers dan Phoenix Suns. NBA Seasons 2008.
Cintya asik sekali nonton. Tanpa peduli pada Viktor. Apalagi saat Kobe Bryant mencetak poin.
Cintya: "Yeah! Kobe Bryant Hebat!!"
Ia menoleh pada Viktor.
Cintya: "Antara Kobe dan Shaq? Ya Tuhan! Aku tidak tau harus dukung yang mana.."
Viktor: "Aku rasa.. Lakers lebih baik. Jadi, dukung Lakers saja.."
Cintya: "Tapi, aku juga suka Suns.. Hh.. bingung!"
Di akhir kuarter, poin kedua team saling mengejar. Tapi, waktu telah habis, dan dimenangi oleh Lakers!
Cintya: "Yee!! Lakers!! Goo!!"
Ia berteriak senang.
Viktor hanya bisa tertawa melihat tingkah Cintya yang polos.
Viktor: "Sekarang, waktunya kau makan malam."
Cintya: "Aku ingin makan salad buah.."
Viktor: "Salad buah? Baiklah.. Kau tunggu."
Cintya: "Iya."
Viktor menelpon asistennya Ben Reed. Menyuruhnya beli salad buah spesial.
Cintya: "Kau sangat baik padaku, Viktor. Aku.. tidak pernah menerima kebaikan seperti ini sebelumnya."
Viktor: "Aku juga tidak tau mengapa bisa begini padamu. Tapi.. biarkan saja. Aku sangat menikmatinya. Meskipun kadang kau sangat kekanak-kanakan.."
Cintya: "Aku kekanak-kanakan? Bagaimana denganmu? Ketua-tuaan?"
Keduanya tertawa.
Viktor: "Aku belum tua. Usiaku masih.. belum 40."
Mereka asik bersenda-gurau, sambil menunggu salad.

Ben mengetuk pintu kamar Cintya. Suara Viktor terdengar dari dalam.
Viktor: "Masuk saja, Ben!"
Ben membuka pintu, lalu memberikan sekotak salad pada Viktor.
Viktor: "Sekarang, kau harus makan."
Ia membuka tutup kotak salad.
Cintya: "Kau.. mau menyuapiku?"
Viktor: "Baiklah.."
Ia menyuapkan salad ke mulut Cintya.
Vitkor: "Lezat, kan?"
Cintya: "Lezat sekali.."
Ia terus menerima suap demi suap salad, sampai habis.
Cintya: "Ya Tuhan.. rasanya aku mau pingsan.."
Viktor: "Eh.. jangan sampai pingsan. Kepalamu sakit? Lukanya berdarah lagi?"
Cintya: "Bukan karena itu."
Viktor: "Lalu..?"
Cintya: "Karena kau yang sangat baik padaku.. Tak seperti ayahku.. yang suka sekali marah.."
Viktor: "Tapi.. aku tak mau jadi ayahmu.."
Cintya: "Kenapa?"
Viktor: "Karena aku.. ingin jadi temanmu saja.."
Cintya: "Tentu saja. Aku juga tidak mau kau jadi ayahku.."
Keduanya bercanda lagi.

Tibalah saatnya Cintya sudah boleh pulang.
Viktor: "Aku mengantarmu, ya..?"
Cintya: "Sebaiknya jangan."
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Ayahku bisa berpikiran lain tentang kita.."
Viktor: "Tapi, kau kan masih sakit. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?"
Cintya: "Tidak akan.."
Viktor: "Ayolah.."
Ia mendorong Cintya masuk mobil. Aduhh.. bagaimana ini? Viktor tidak boleh tau rumahku, kata Cintya dalam hati.
Viktor: "Kau tinggal di mana?"
Mobil Viktor sudah keluar dari daerah rumah sakit.
Cintya: "Di.. Baverly Hills.."
Viktor: "Oke.."
Lalu, Cintya menunjuk sebuah rumah besar dan mewah.
Cintya: "Itu rumahku.."
Viktor: "Rumahmu? Kalau begitu, aku akan mampir, supaya mereka tak memarahimu.."
Cintya: "Ja, jangan, Viktor. Ku mohon.."
Viktor: "Kenapa?"
Cintya: "Lain kali saja.."
Viktor: "Ng.. baiklah. Tapi.. kita akan bertemu lagi, kan?"
Cintya: "Tentu saja. Setelah pulang sekolah, jemput aku jam 2."
Viktor: "Baiklah.."

Setelah Viktor pergi menjauh dan hilang di ujung jalan, Cintya langsung pulang ke rumah yang sebenarnya, di pinggiran kota yang kumuh.

John dan Tanya memarahi Cintya habis-habisan.
John: "Apakah dalam seminggu, kau tidak ada waktu untuk pulang? Baju pinjam pada teman?! Memalukan!"
Tanya: "Anehnya, temanmu bisa pulang ambil baju, tapi kau tidak bisa. Ada apa ini?"
Cintya tidak takut dimarahi seperti itu.
Cintya: "Percuma saja aku pulang. Sudah minta maaf, tapi kalian sama sekali tidak menghargai aku. Kalau begitu, semakin kuat keputusanku. Aku akan pergi dari rumah ini. Mencari kehidupan yang lebih layak!"
Ia segera mengemasi semua pakaian dan buku sekolahnya.
Tanya mencoba menghalangi.
Tanya: "Cintya! Kau mau ke mana?"
Cintya: "Pergi. Tidak akan lagi menyusahkan kalian. Beban kalian pasti berkurang."
Cintya keluar dari rumah. Dengan dua tas besar di punggung dan tangan. Ia pergi dari rumah.
Cintya: "Ke mana aku harus pergi?"
Dirinya tidak mungkin mencari Viktor. Akan terlihat seperti orang yang tak punya harga diri. Tapi, tidak ada pilihan lain.
Ia menelpon Viktor lewat telpon umum. Baru ditelpon 10 menit, Viktor sudah muncul. Tanpa Ben, sopirnya.
Viktor: "Apa yang terjadi?"
Cintya tak bisa menceritakan. Ia menangis duluan.
Viktor: "Kalau begitu, ke rumahku saja.."

Di mobil, Cintya hanya diam dan diam. Air matanya terus menetes. Viktor menyentuh tangan kiri Cintya, untuk menguatkan gadis itu.

Sampailah di rumah Viktor yang besar dan mewah. Seperti istana.
Cintya: "Rumahmu besar sekali, Viktor.. Apakah.. kau mengajakku tinggal di sini?"
Viktor: "Memangnya mau di mana lagi?"
Cintya: "Ini berlebihan.."
Viktor: "Lantai bawah.. seluruhnya tempat kerja. Lantai paling atas adalah rumahku."
Wow! Viktor kaya sekali..
Ia memliki rumah tiga tingkat yang sangat mewah.
Cintya: "Viktor.. apakah kau ini presiden?"
Viktor: "Presiden kita masih George Bush. Calonnya Barack Obama. Aku tidak masuk daftar."
Cintya tersenyum.
Viktor: "Kau mau kan, tinggal bersamaku di sini?"
Cintya tak menjawab. Viktor menarik tangannya duluan. Naik lift ke lantai 3.
Tatanan rumahnya juga artistik. Semuanya bernuansa biru. Soft dan Hard
Viktor menunjukkan kamar untuk Cintya. Kamar yang sangat mewah. Dindingnya terbuat dari kaca khusus yang tidak bisa dilihat dari luar. Mewah sekali.
Cintya: "Ini.. terlalu bagus. Aku.. tidak bisa menerimanya.."
Viktor: "Kenapa? Bukankah.. rumahmu juga mewah?"
Cintya menundukkan kepala.
Cintya: "Aku tidak seberuntung itu. Maaf, aku tadi tidak menunjukkan rumahku yang sebenarnya.."
Viktor mengerti maksud Cintya. Ia paham apa yang dialami gadis itu.

Tidak ada komentar: